Ngahmeen
Jumat, 06 Februari 2015
Sejarah Negeri Pangkalan Jambu
Sejarah Negeri Pangkalan Jambu
Tahukah Anda "Sejarah Negeri Pangkalan Jambu"..???
Sejarah yang tertulis tidak ada. Piagam Negeri ini adalah Piagam Pandai Berkato. Maksudnya ialah bahwa segala sesuatu keterangan yang berhubungan dengan Negeri ini, seperti batas2 Negeri/marga, hak2 atas tanah, asal usul penduduk, susunan pemerintahan secara adat, undang2 adat dan sebagainya semuanya hafal dimult oleh kepala2 adat dan diwariskan kepada generasi baru secara lisan.
Hal ini sesuai dengan kata2 adat : Waris nan dijawat, khalifah nan dijunjung, nan terlukis dibendul Jati, nan tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan.
Zaman dahulu, sewaktu Negeri Pangkalan Jambu masih ditutup oleh hutan lebat, namanya ialah Renah Sungai Kunyit. Renah Sungai Kunyit ini pada waktu itu adalah bahagian dari Daerah Depati Muara Langkap yang berkedudukan di Tamiai (kerinci). Didaerah Renah Sungai Kunyit ini banyak terdapat Bijih Emas. Hal ini diketahui oleh orang Minangkabau setelah Tjindur Mato melalui daerah ini sewaktu ia kembali dari Palembang.
Setelah mendengar cerita Tjindur Mato bahwa di Renah Sungai Kunyit banyak terdapat Biji Emas, maka diutuslah oleh Bundo Kandung dan Basa Ampek balai, dari orang yang bergelar "Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo" untuk mencari Renah Sungai Kunyit. Sebelum sampai ke Renah Sungai Kunyit, kedua orang utusan ini pergi menemui Tiang Bungkuk di Ujung Tanjung Muaro Sekiau Tamiai. Tiang BUngkuk ini adalah menantu Depati Muara Langkap. Setelah mendapat izin dari Tiang Bungkuk, dengan bantuan seorang Puteri Tiang Bungkuk yang bernamo Nyai Meh Pasak yang waktu itu tinggal di Sungai Aur, maka sampailah Datuk Putih dan dan Datuk Mangkuto Marajo di Renah Sungai Kunyit. Kedua orang inilah yg mula2 mencencang melatih Marga Pangkalan Jambu. Mula2 tujuan mereka adalah mencari emas, tetapi kemudian setelah mereka membawa anak kemenakan mereka ke Renah SUngai Kunyit ini disamping menambang emas mereka membikin sawah pula karena ditempat ini terdapat tanah2 dataran yg baik untuk dijadikan sawah.
Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo ingin tinggal menetap di Ranah Sungai Kunyit ini bersama-sama dengan anak cucunya yg dibawa dari Minangkabau. Tetapi tempat ini lambat sekali ramainya, karena itu timbul pikiran Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo untuk meramaikan Renah Sungai Kunyit ini. Maka ditetapkanlah akan mendirikan Gelanggang untuk meramaikan Negeri.
Mendirikan Gelanggang...
Pada waktu itu rakyat Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo adalah anak dan kemenakan mereka sendiri. Tempat tinggal mereka berpusat di Pondok Barung2. Dengan bantuan anak kemenakannya itu disiapkannyalah segala perlengkapan yang diperlukan. Untuk meramaikan Gelanggang ini, dikabarkanlah ke Minangkabau dan diundang negeri2 yg terdekat dari tempat ini, seperti Nagari Depati IV Tiga helai Kain yaitu 7 (tujuh) org Depati yang masing2 bergelar Depati Muaro Langkap di Tamiai, Depati Rencong Telang di Pulau Sangka, Depati Atur Bumi di Hiang, Depati Biang Sari di Pangasi, Depati Setio Nyato di Tanah renah, Depati Setio Rajo di Lubuk Gaung dan Depati Setio Beti (Bakti) di Nalo Tantan. Selain itu juga diundang negeri Luhak XVI Ma. Siau/Pamuncak Koto Tapus - Serampas, Siangit Sungai Tabir, Limun Batang Asai dan Daerah Uluan Palembang.
Dengan demikian mulailah org datang ke Renah Sungai Kunyit pergi menyabung dan berjudi. Gelanggang menjadi semakin ramai. Orang2 yg kalah menyabung dan berjudi pergi menambang mencari emas untuk bekal berjudi kembali. Setengahnya ada pula yg membuka tanah persawahan dan tidak mau berjudi lagi. Gelanggang berlangsung beberapa tahun. Pendatang Baru telah banyak yg tinggal menetap.
Pada suatu hari turunlah beberapa orang keluarga Depati Muara Langkap dari Tamiai Kerinci meminta hasil pamuhun (Pajak Hasil Bumi) kepada Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo karena Renah Sungai Kunyit yg merupakan bagian dari daerahnya itu, telah ramai didatangi org dan telah banyak pendatang2 baru yg tinggal menetap. Karena sesuatu hal maka terjadi perselisihan antara Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo dengan Keluarga Depati Muara Langkap tadi, sehingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan.
Setelah terjadinya perselisihan itu, Renah Sungai Kunyit yg baru saja mulai ramai menjadi suram kembali karena padi ditanam buahnya hampa, emas dicari sukar didapat. Berhubung karena keadaan ini, maka timbullah pikiran pada Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo untuk pergi ber-maaf2an dengan kaum kelaurga Depati Muara Langkap di Tamiai.
Pada mulanya kedatangan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo tidak dilayani oleh Depati Muara langkap karena ia khawatir kalu2 kedatangan mereka untuk memerangi kaum keluarganya. Tetapi berkat kebijaksanaan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo, dapat menimbulkan kepercayaan Depati Maura Langkap, sehingga akhirnya kedatangan mereka diterima dengan baik dan saling memaafkan kesalahan yg telah lalu. Sehabis Silang sangketa diutuslah oleh Depati Ma. Langkap beberapa org keluarganya bersama2 memerintah dengan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo di Renah Sungai Kunyit dan semenjak itu kehidupan masyarakat mulai baik kembali.
(sambungan 1)
Gelanggang sudah hampir habis karena orang telah banyak kembali kenegerinya masing-masing. Tetapi sebagian dari pengunjung-pengunjung gelanggang ini ada yang tinggal menetap. Mereka telah membikin rumah dan sawah. Pada waktu itu belum ada keseragaman undang-undang yang mengatur hubungan anggota-anggota masyarakat yang berasal dari berbagai deaerah itu. Masing-masing bertindak menurut adat isti adat mereka sendiri-sendiri.
Untuk mengatur masyarakat Renah Sungai Kunyit yang telah bertambah ramai tadi, bersidanglah Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo serta utusan Depati Muara Langkap yang telah menetap ditempat ini. Sidang tersebut menelurkan suatu Konsepsi mengenai susunan pemerintahan dan undang2 adat yang meliputi berbagai segi kehidupan. Konsepsi tersebut merupakan UUD dari Negeri Renah Sungai Kunyit. Untuk meresmikan Konsepsi ini, diputuskan pula lah akan mengadakan suatu perhelatan besar.
Meresmikan Susunan Pemerintahan dan Undang-Undang Adat
Setelah selesai semua persiapan yang diperlukan untuk mengadakan kenduri besar itu, diundanglah negeri2 : Depati IV Tiga Helai Kain, Luhak XVI/Pamuncak Koto Tapus Serampas, Muko2, Siangit Sungai Tabir dan Limun Batang Asai.
Pada akhir bulan Sakban sebelum masuk puasa diadakanlah perhelatan itu disuatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Pekan Puaso. Dalam jamuan besar itu dipotong Kerbau 48 ekor (menurut kata2 pusaka “kurang duo limo puluh”). Keramaian itu dimeriahkan pula dengan sabung judi, bermacam-macam bunyi2an dan tarian2 rakyat.
Setelah hadir semua Depati2/Datuk2/Penghulu2 dari negeri yang diundang, diterangkanlah oleh Datuk Putih tujuan dan maksud dari pada perhelatan itu. Kemudian diumumkanlah oleh Datuk Mangkuto Marajo kepada pembesar-pembesar dan seluruh rakyat isi dari konsepsi mengenai susunan pemerintahan dan undang-undang adat yang dijadikan pedoman dalam menjalankan pemerintahan sampai turun temurun.
Undang-Undang Adat
Undang-undang Adat Negeri Pangkalan Jambu adalah kombinasi antara undang-undang yang turun dari Minangkabau dan teliti yang mudik (datang) dari Jambi.
Dasar Undang-Undang Adat
Undang-undang adat berdasarkan kepada “Wajah nan Tigo, Perbetulan nan Duo”
A. Wajah nan Tigo yaitu :
1. Buek
2. Pakai
3. Peseko
B. Perbetulan Nan Duo yaitu :
1. Perbetulan Syarak
2. Perbetulan Adat
ad. A. Wajah nan Tigo :
Buek, ialah semua keputusan-keputusan yang telah disahkan bersama, berdasarkan kata sepakat.
Pakai, ialah kewajiban untuk mematuhi dan menjalankan sesuatu yang telah menjadi keputusan bersama.
Peseko (Pusako), ialah apa-apa yang telah menjadi ketetapan bersama, wajib dipatuhi dan dijalankan sampai turun temurun. Jadi harus di Pusakakan kepada anak cucu. Kata-kata adat mengatakan : nan tidak lekang karena panas, nan tidak lapuk karena hujan.
ad. B. Perbetulan Nan Duo :
Perbetulan Syarak, ialah ajaran-ajaran agama Islam. Jadi undang-undang adat yang dibuat hendaklah berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam. Menurut kata, “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi kitab Allah”.
Perbetulan adat, ialah Wajah nan Tigo. Wajah nan Tigo itu wajib dipakai selam-lamanya hendaklah dijadikan contoh dan diikuti oleh generasi-generasi yang akan datang. Menurut kata adat demikian ; “ Bersesap Berjerami, Bertunggul Berpemarasan, Jalan Berambah yang akan dituju, Baju Berjahit yang akan disarungkan”.
Segala Undang-undang adat yang mengatur berbagai segi kehidupan dijiwai oleh “Wajah nan Tigo, Perbetulan nan Duo” tersebut.
II. Sumpah Karang Setio .... (Bersambung)
(sambungan 2)
II. Sumpah Karang Setio
Undang-undang adat/perjanjian yang tidak tertulis ini disertai semacam sangsi yang dinamakan “Sumpah Karang Setio”, sumpah ini berbunyi sebagai berikut :
- Eso Dua Tigo Empek
Empek Limo Enam Tujuh
Barang Siapo Mengubah Buek
Anak Belimo Mati Betujuh
- Keateh Tidak Bepucuk Bulek
Kebawah Tidak Beurek Tunggang
Tengah-tengahnyo Digirik Kumbangh
- Bak Disapu Laman nan Panjang
Bak Disepai Rumah nan Gedang
Maksudnya :
Barangsiapa yang memungkiri perjanjian-perjanjian yang telah dibuat bersama (Undang2 Adat) baik oleh dia sendiri maupun oleh anak cucunya dibelakang hari, maka ia akan dimakan oleh “Sumpah Karang Setio-Buek Purbakalo”. Bila ia telah dimakan oleh sumpah tersebut, maka akan punah dan pupuslah semua anak cucunya. Diumpamakan sebagai telah disapu bersih halaman nan panjang.
Susunan Pemerintahan
I. Kekuasaan Tertinggi
Kekuasaan tertinggi dipegang oleh suatu majelis yang terdiri dari tujuh orang. Ketujuh orang itu sama tinggi kedudukannya. Majelis ini bernama “Datuk Berempat - Menti Betigo”. Datuk Berempat melambangkan negeri ini ada hubungannya dengan “Basa Ampek Balai” di Minangkabau. Menti Batigo melambangkan bahwa penduduk negeri ini terdiri dari tiga alur. Datuk Berempat – Menti Batigo jumlahnya tujuh orang ; angka tujuh ini hikmahnya untuk mengimbangi “Piagam nan Tujuh Pucuk” di Kerinci.
Datuk Berempat berasal dari keluarga Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo. Yang berasal berasal dari keluarga Datuk Putih ialah Datuk Penghulu Mudo dan Datuk Penghulu Kayo. Dan yang berasal dari keluarga Datuk Mangkuto Marajo ialah Datuk Bendaro Kayo dan Datuk Rajo Bantan.
Masing-masing Datuk Berempat, mempunyai seorang wakil :
Wakil Datuk Penghulu Mudo ialah Rajo Mananti
Wakil Datuk Penghulu Kayo ialah Sempono Kayo
Wakil Datuk Bendaro Kayo ialah Rajo Malendan
Wakil Datuk Rajo Bantan ialah Rajo Malintang
Keempat orang wakil ini disebut “ Anak Gedang nan Berempat “. Mereka adalah anak timangan Datuk Berempat. Diibaratkan sebagai burung perkutut diujung jari : makan ditapak tangan, mengisap keujung kuku.
Menti Betigo diangkat dari orang Batin, diantaranya dari keluarga Depati Muara langkap. Ketiga orang Menti itu masing-masing bergelar : Rio Niti, Rio Gemalo dan Rio Sari.
Cat : Rencana semula Menti Betigo itu ialah : Rio Niti, Rio Gemalo dan Rio Menang. Tetapi karena sesuatu hal, Rio Menang tidak mau ikut serta. Sebab itu ia tidak hadir pada hari peresmian Undang2 adat di Pondok Pekan Puaso. Untuk mencukupkan bilangan Menti ini sampai tiga orang, maka diangkatlah pada hari itu juga seorang Menti yang diberi gelar Rio Sari. Ia berasal dari orang berlima di Pondok panjang Muaro Sungai Bujur.
Antara Datuk Berempat – Menti Betigo, haruslah diciptakan kerjasama yang sebaik-baiknya. Hal ini dinyatakan dengan kata-kata adat berikut :
Datuk berempat sebagai bapak,
Menti Betigo sebagai induk.
Belalang Datuk Berempat,
Padang Menti Betigo.
Merebah datuk Berempat,
Cemeteh Menti Betigo.
Peti nan bagewang pada Menti nan Batigo,
Anak kuncinyo pada Datuk nan Berempat.
Dibawah Datuk Berempat –Menti Batigo ini, ialah yang dinamakan “ Nan Bajenjang Naik, Batanggo Turun “ yaitu ninik mamak-ninik mamak yang masing-masingnya mengepalai sebuah kampung. Merekalah yang merupakan badan executive yang langsung berhubungan dengan anak kemenakannya.
Jabatan Datuk Berempat – Menti Batigo dan Nan Bejenjang Naik Batanggo Turun ini, diwariskan menurut garis ibu, jadi kepada kemenakan. Jika menurut garis ibu tidak ada lagi yang patut, barulah jatuh kepada anak dengan jalan meresmikan secara adat.
II. Pembagian Tugas
Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka diadakanlah pembagian tugas. Demikianlah Datuk Berempat Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ketujuh orang tersebut merangkap pula tugas tertentu.
A. Datuk Berempat
Datuk Penghulu Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus hubungan dengan negeri lain dan mengurus orang-orang yang keluar masuk. Menurut kata adat urusan Datuk Penghulu Kayo ini disebut : “ Ikuk Surek Kepalo Surek, Nan Taelo-elo Ditepian, nan ta-isak-isak di Lebuh”.
Datuk Penghulu Mudo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus keramaian yang diadakan oleh Negeri. Menurut kata ada urusan Datuk Penghulu Mudo disebut ; “Digelanggang nan Batirai, Disorak nan Bederai”.
Datuk Bendaro Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus perkara-perkara kejahatan seperti pembunuhan, perkelahian dan sebagainya. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Kayo ini di sebut : “ Darah Terserak, Dagiang Terkuak “.
Datuk Rajo Bantan, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus pertambangan. Kalau ada orang akan membuka tambang emas, haruslah diberitahukan kepadanya terlebih dahulu. Menurut kata-kata adat Datuk Rajo Bantan ini disebut : “ Ditebek nan Tagenang, Di Benda nan Tajelo “.
B. Menti nan Betigo
Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, masing-masing mereka bertugas menjadi Kepala Dusun (Rio) yang diberi kekuasaan memerintah beberapa buah kampung yang berpusat di dusun tempat kedudukan masing-masing Rio tersebut.
Selain dari itu mereka bertugas pula mengurus “ Air Beralih – Pulau Menyurung “ dalam daerah mereka masing-masing.
Rio Niti, berkedudukan di Dusun Baru dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung nan IV
Rio Gemalo, berkedudukan di Dusun Nangko dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Orang Tiga Alur.
Rio Sari, berkedudukan di Dusun Sei. Jering dan ia bertugas mengepalai serta mengurus kampung VIII.
III. Agama
Untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan agama, diangkat tiga orang pegawai agama :
Imam
Chatib
Bilal
IV. Pengawas
Untuk mengawasi jalannya undang-undang adat, diangkatlah seorang pengawas yang di beri gelar “ Rajo Malenggang “. Dia lah yang akan mengetahui lebih dahulu jika ada dalam masyarakat terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang adat. Rajo Malenggang berkewajiban memberi laporan kepada sidang Datuk Berempat Menti Betigo, jika ada Cermin nan kabur, Lantak nan Goyah, Buek nanlah Berubah dan Pakai nanlah Terjun.
Kamis, 05 Februari 2015
Adapun sebagian sunnah-sunnah keseharian Rasulullah yg bisa kita jadikan pedoman amalan sehari-hari kita adalah :
1. Mendahulukan Kaki Kanan Saat Memakai Sandal Dan Kaki Kiri Saat Melepasnya
Dalilnya diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhaariy rahimahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ لِيَكُنْ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abu Az-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memakai sandal, maka hendaklah memulai dengan kaki yang kanan, dan apabila melepasnya hendaklah memulai dengan kaki yang kiri, agar yang kanan menjadi yang pertama kali mengenakan dan terakhir melepasnya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 5856; Shahiih Muslim no. 2099]
2. Menjaga Dan Memelihara Wudhu
Al-Imam Ibnu Maajah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Manshuur, dari Saalim bin Abul Ja’d, dari Tsaubaan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beristiqamahlah kalian! Dan kalian tidak akan pernah bisa melakukannya (namun berusahalah kalian untuk menetapinya). Ketahuilah kalian bahwa sebaik-baik amalan kalian adalah shalat, dan tidaklah menjaga wudhu’ kecuali seorang mu’min.”
[Sunan Ibnu Maajah no. 277, 278, 279; Sunan Ad-Daarimiy no. 655] – Shahih lighairihi.
Dishahihkan Al-Haafizh Al-Mundziriy dalam At-Targhiib wa At-Tarhiib 1/130, dan disepakati Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Ibnu Maajah no. 226.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhaariy :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ رَقِيتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى ظَهْرِ الْمَسْجِدِ فَتَوَضَّأَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Khaalid, dari Sa’iid bin Abu Hilaal, dari Nu’aim Al-Mujmir, ia berkata, aku menuju masjid yang nampak bersama Abu Hurairah, kemudian berwudhu’, Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ummatku akan dikumpulkan di hari kiamat dengan anggota tubuh bersinar karena bekas-bekas wudhu’, maka barangsiapa diantara kalian mampu untuk memanjangkan cahayanya hendaklah ia lakukan.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 136; Shahiih Muslim no. 248]
3. Bersiwak (Menggosok Gigi dengan Kayu Siwak)
Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai bersiwak, diantaranya adalah :
أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ زُرَيْعٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَتِيقٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ “
Telah mengkhabarkan kepada kami Humaid bin Mas’adah dan Muhammad bin ‘Abdil A’laa, dari Yaziid -dan dia adalah Ibnu Zurai’-, ia berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Abi ‘Atiiq, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Ayahku, ia berkata, aku mendengar ‘Aaisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Siwak adalah kebersihan untuk mulut dan mendatangkan ridha Rabb.”
[Sunan An-Nasaa’iy Ash-Shughraa no. 5] – Hasan.
Dishahihkan Al-Haafizh Al-Mundziriy dalam At-Targhiib 1/133; Al-Imam An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 1/267; Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih An-Nasaa’iy.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابْنُ بِشْرٍ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْحٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ، قُلْتُ: ” بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ؟ قَالَتْ: بِالسِّوَاكِ “
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Bisyr, dari Mis’ar, dari Al-Miqdaam bin Syuraih, dari Ayahnya, ia berkata, aku bertanya kepada ‘Aaisyah, “Dengan apa yang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam lakukan pertama kali ketika memasuki rumahnya?” ‘Aaisyah menjawab, “Beliau bersiwak.”
[Shahiih Muslim no. 255; Musnad Ahmad no. 25465]
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: ” كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Manshuur, dari Abu Waa’il, dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam jika bangun malam ia menggosok mulutnya dengan siwak.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 246; Shahiih Muslim no. 257]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Yuusuf, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abu Az-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika bukan karena memberatkan ummatku atau manusia, maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 887; Jaami’ At-Tirmidziy no. 22]
Bahkan di saat-saat terakhir beliau pun masih meminta siwak kemudian diambilkan oleh ‘Aaisyah, diratakan ujung-ujungnya kemudian diberikan kepada beliau yang berada di pangkuannya. Semua ini menunjukkan keutamaan dan sunnahnya bersiwak di setiap waktu, tidak hanya ketika akan memulai shalat.
4. Shalat Istikharah
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhaariy :
حَدَّثَنَا مُطَرِّفُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَبُو مُصْعَبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الْمَوَالِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَالسُّورَةِ مِنْ الْقُرْآنِ إِذَا هَمَّ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
Telah menceritakan kepada kami Mutharrif bin ‘Abdullaah Abu Mush’ab, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Abul Mawaal, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan shalat istikharah kepada kami untuk setiap perkara, sebagaimana mengajarkan surat dari Al Qur’an, beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua raka’at di luar shalat wajib, dan hendaklah dia berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepadaMu dengan ilmuMu, memohon ketetapan dengan kekuasanMu, dan aku memohon karuniaMu yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak berkuasa sama sekali, Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa keperluan ini (kemudian ia menyebutkan langsung keperluan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku –atau mengucapkan, “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-“, maka tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku –atau mengucapkan, “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-“, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapanMu tersebut,” Beliau bersabda, “Hendaklah sebutkan keperluannya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6382]
5. Berkumur-Kumur Dan Menghirup Air dengan Hidung Dalam Satu Cidukan Telapak Tangan Ketika Berwudhu
Disunnahkan ketika berwudhu’ untuk berkumur-kumur (Al-Madhmadhah), menghirup air dengan hidung (Al-Istinsyaq), kemudian mengeluarkannya (Al-Istintsar), semua dalam satu cakupan telapak tangan. Dalil-dalilnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ…ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’ bin Yaziid, dari Humraan maulaa ‘Utsmaan bin ‘Affaan, bahwasanya ia melihat ‘Utsmaan bin ‘Affaan radhiyallahu ‘anhu meminta diambilkan air untuk berwudhu’. Ia lalu menuang bejana itu pada kedua tangannya, lalu ia basuh kedua tangannya tersebut hingga tiga kali. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhunya, kemudian berkumur, memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya…kemudian ‘Utsmaan berkata, “Aku melihat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ seperti wudhu’ku ini.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 164]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ خَالِدِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ قَالَ أَتَانَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَدْ صَلَّى فَدَعَا بِطَهُورٍ فَقُلْنَا مَا يَصْنَعُ بِالطَّهُورِ وَقَدْ صَلَّى مَا يُرِيدُ إِلَّا لِيُعَلِّمَنَا فَأُتِيَ بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ وَطَسْتٍ فَأَفْرَغَ مِنْ الْإِنَاءِ عَلَى يَمِينِهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا فَمَضْمَضَ وَنَثَرَ مِنْ الْكَفِّ الَّذِي يَأْخُذُ فِيهِ…ثُمَّ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Khaalid bin ‘Alqamah, dari ‘Abd Khair, ia berkata, ‘Aliy radhiyallahu ‘anhu mendatangi kami dan sungguh ia telah selesai menunaikan shalat, lalu ia meminta air untuk bersuci, kami berkata, “Apa yang hendak ia lakukan dengan bersuci ketika selesai shalat? Tidaklah ia berkehendak demikian kecuali ia hendak mengajari kami.” Lalu didatangkan bejana berisi air, kemudian ‘Aliy menuangkan air dari bejana tersebut pada tangan kanannya, dia membasuh kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur dan beristinsyaq tiga kali, dia berkumur dan beristinsyaq dari telapak tangan yang dia gunakan untuk mengambil air (yakni dengan tangan kanannya)…kemudian ‘Aliy berkata, “Barangsiapa yang ia ingin mengetahui sifat wudhu’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam maka wudhu’nya seperti ini.”
[Sunan Abu Daawud no. 111] – Shahih
6. Berwudhu Sebelum Tidur Dan Tidur Dengan Posisi Miring Ke Kanan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqaatil, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Manshuur, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Al-Baraa’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila engkau hendak tidur, berwudhulah sebagaimana wudhu ketika hendak shalat. Kemudian berbaringlah miring ke kanan, dan bacalah, Ya Allah, aku tundukkan wajahku kepadaMu, aku pasrahkan urusanku kepadaMu, aku sandarkan punggungku kepadaMu, karena rasa takut dan penuh harap kepadaMu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari hukumanMu kecuali kepadaMu. Ya Allah, aku beriman kepada kitabMu yang telah Engkau turunkan, dan kepada nabiMu yang telah Engkau utus. Jika kau meninggal di malam itu, kau meninggal dalam keadaan fitrah. Jadikanlah doa itu, sebagai kalimat terakhir yang engkau ucapkan sebelum tidur.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 247; Shahiih Muslim no. 2712]
7. Berbuka Puasa Dengan Makanan Ringan
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, telah menceritakan kepada kami Tsaabit Al-Bunaaniy bahwa ia mendengar Anas bin Maalik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka puasa dengan beberapa butir kurma muda (ruthb atau kurma basah) sebelum melakukan shalat (Maghrib). Jika beliau tidak menemukan beberapa kurma muda maka beliau berbuka dengan beberapa butir kurma matang (tamr atau kurma kering). Jika beliau tidak menemukannya, maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.”
[Sunan Abu Daawud no. 2356] – Hasan. Lihat Ash-Shahiihah no. 2840.
8. Sujud Syukur Saat Mendapatkan Nikmat Atau Terhindar Dari Bencana
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ أَمْرٌ فَسُرَّ بِهِ فَخَرَّ لِلَّهِ سَاجِدًا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, telah menceritakan kepada kami Bakkaar bin ‘Abdul ‘Aziiz bin Abu Bakrah, dari Ayahnya, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah kedatangan suatu perkara yang menyenangkan beliau, maka beliau pun turun dan sujud kepada Allah.
[Jaami’ At-Tirmidziy no. 1578; Sunan Abu Daawud no. 2774] – Hasan. Al-Imam At-Tirmidziy rahimahullah berkata, “Hasan ghariib,” dan dihasankan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Tirmidziy.
9. Tidak Begadang Dan Segera Tidur Selesai Shalat Isya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ، عَنْ أَبِي بَرْزَةَ، ” أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sallaam, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul Wahhaab Ats-Tsaqafiy, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari Abul Minhaal, dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isyaa’ dan bercakap-cakap setelahnya.
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 568; Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 346]
Oleh karena itu dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya’ dan begadang setelahnya jika memang tidak ada keperluan. Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah sampai membuat judul untuk bab ini :
بَابُ الزَّجْرِ عَنِ السَّهَرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
“Bab larangan dari begadang setelah shalat ‘Isya'”
10. Mengikuti Bacaan Muadzin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Yuusuf, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Athaa’ bin Yaziid Al-Laitsiy, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan adzan, maka katakanlah seperti apa yang diserukan mu’adzin.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 611; Shahiih Muslim no. 386]
حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسَافٍ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Manshuur, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Jahdham Ats-Tsaqafiy, telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, dari ‘Umarah bin Ghaziyyah, dari Khubaib bin ‘Abdurrahman bin Isaaf, dari Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar bin Al-Khaththaab dari Ayahnya dari Kakeknya, yaitu ‘Umar bin Al-Khaththaab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang mu’adzin mengumandangkan adzan seraya berseru, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar’, lalu salah seorang di antara kalian mengucap, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar’, kemudian mu’adzin berseru, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, lalu dia berucap, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, kemudian mu’adzin melanjutkan, ‘Saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, lalu dia mengucap, ‘Saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, kemudian mu’adzin berseru, ‘Marilah shalat’, dan dia membaca, ‘Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah’, kemudian mu’adzin berseru, ‘Marilah menuju kebahagiaan, ‘ lalu dia menjawab, ‘Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah’, kemudian mu’adzin berkata, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar’, lalu dia menjawab, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar’, kemudian (menutup adzannya) dengan lafadz, ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah’, lalu dia menjawab dengan lafadz, ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selian Allah’. (Jika dia melakukan hal itu) Dengan sepenuh hati, niscaya dia akan masuk surga.”
[Shahiih Muslim no. 388; Shahiih Al-Bukhaariy no. 613]
11. Berlomba-Lomba Untuk Mengumandangkan Adzan, Bersegera Menuju Shalat, Serta Berupaya Untuk Mendapatkan Shaf Pertama
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ…لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا لَاسْتَهَمُوا عَلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, dari Maalik, dari Sumaiy maulaa Abu Bakr bin ‘Abdurrahman, dari Abu Shaalih As-Sammaan, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…Kalaulah manusia mengetahui apa yang terdapat pada adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak mampu mendapatinya kecuali dengan cara mengundi maka mereka pasti akan mengundinya, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat pada bersegera menuju shalat maka mereka pasti akan berlomba-lomba kepadanya, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat pada ‘atamah (shalat ‘Isya’) dan shalat Subuh maka mereka pasti akan mendatanginya walau dengan cara merangkak.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 654; Shahiih Muslim no. 440]
12. Meminta Izin Tiga Kali Ketika Bertamu
حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ أَنَّ بُسْرَ بْنَ سَعِيدٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُا كُنَّا فِي مَجْلِسٍ عِنْدَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَأَتَى أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ مُغْضَبًا حَتَّى وَقَفَ فَقَالَ أَنْشُدُكُمْ اللَّهَ هَلْ سَمِعَ أَحَدٌ مِنْكُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلَّا فَارْجِعْ قَالَ أُبَيٌّ وَمَا ذَاكَ قَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمْسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي فَرَجَعْتُ ثُمَّ جِئْتُهُ الْيَوْمَ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَأَخْبَرْتُهُ أَنِّي جِئْتُ أَمْسِ فَسَلَّمْتُ ثَلَاثًا ثُمَّ انْصَرَفْتُ قَالَ قَدْ سَمِعْنَاكَ وَنَحْنُ حِينَئِذٍ عَلَى شُغْلٍ فَلَوْ مَا اسْتَأْذَنْتَ حَتَّى يُؤْذَنَ لَكَ قَالَ اسْتَأْذَنْتُ كَمَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَاللَّهِ لَأُوجِعَنَّ ظَهْرَكَ وَبَطْنَكَ أَوْ لَتَأْتِيَنَّ بِمَنْ يَشْهَدُ لَكَ عَلَى هَذَا فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ فَوَاللَّهِ لَا يَقُومُ مَعَكَ إِلَّا أَحْدَثُنَا سِنًّا قُمْ يَا أَبَا سَعِيدٍ فَقُمْتُ حَتَّى أَتَيْتُ عُمَرَ فَقُلْتُ قَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ هَذَا
Telah menceritakan kepadaku Abu Ath-Thaahir, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullaah bin Wahb, telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin Al-Haarits, dari Bukair bin Al-Asyaj, bahwa Busr bin Sa’iid menceritakan kepadanya bahwa ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy mengatakan, “Kami sedang berada di majelis Ubay bin Ka’b, lalu datanglah Abu Muusaa Al-Asy’ariy dalam keadaan marah, lalu ia berhenti seraya berkata, “Demi Allah, apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, “Meminta izin itu hanya tiga kali, apabila diizinkan, maka kalian boleh masuk. Jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka pulanglah.” Ubay bertanya, “Ada apa dengan hadits tersebut?” Abu Muusaa menjawab, “Kemarin aku telah meminta izin kepada ‘Umar (di rumahnya) sebanyak tiga kali namun tidak ada jawaban, maka akupun pulang kembali. Lalu pada hari ini aku mendatanginya lagi dan aku khabarkan kepadanya bahwa aku telah menemuinya kemarin dan aku telah ucapkan salam sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Maka ‘Umar menjawab, “Kami telah mendengarmu, akan tetapi waktu itu kami memang sedang sibuk hingga tidak sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa kamu tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu?” Abu Muusaa menjawab, “Aku meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam.” Lalu ‘Umar berkata, “Demi Allah, aku akan menghukummu hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai hadits itu.” Kemudian Ubay bin Ka’b berkata, “Demi Allah, tidak akan ada yang menjadi saksi atasmu kecuali orang yang paling muda di antara kami. Berdirilah wahai Abu Sa’iid!” Lalu akupun berdiri hingga aku menemui ‘Umar, dan aku katakan kepadanya bahwa aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda seperti itu.”
[Shahiih Muslim no. 2154]
13. Mengibaskan Seprei Saat Hendak Tidur
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullaah bin ‘Umar, telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Abu Sa’iid Al-Maqburiy, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian hendak tidur di pembaringannya, maka hendaklah ia mengibaskan kasurnya dengan kainnya karena sesungguhnya ia tidak tahu apa yang berada di atasnya sepeninggalnya, kemudian ucapkan, bismika Rabbi wadha’tu janbiy wa bika arfa’uhu in amsakta nafsiy farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakash shaalihiin (Dengan namaMu Wahai Tuhan, aku baringkan punggungku dan dengan namaMu aku mengangkatnya, dan jika Engkau menahan diriku maka rahmatilah aku, dan jika Engkau melepaskannya, maka jagalah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hambaMu yang shalih).”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6320; Shahiih Muslim no. 2716]
14. Meruqyah Diri Dan Keluarga
Disunnahkan untuk meruqyah diri sendiri sebagaimana diceritakan oleh Tsaabit Al-Bunaaniy rahimahullah dari Anas bin Maalik radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidziy :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَالِمٍ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ قَالَ قَالَ لِي يَا مُحَمَّدُ إِذَا اشْتَكَيْتَ فَضَعْ يَدَكَ حَيْثُ تَشْتَكِي وَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ مِنْ وَجَعِي هَذَا ثُمَّ ارْفَعْ يَدَكَ ثُمَّ أَعِدْ ذَلِكَ وِتْرًا فَإِنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُ بِذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits bin ‘Abdish Shamad, telah menceritakan kepadaku Ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Saalim, telah menceritakan kepada kami Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata, “Wahai Muhammad, jika kau merasakan sakit maka taruhlah tanganmu di bagian tubuh yang terasa sakit, dan ucapkan, bismillaahi a’uudzu bi’izzatillaahi wa qudratihi min syarri maa ajidu min waja’iy hadzaa (Dengan nama Allah, aku berlindung dengan kemuliaan Allah dan kekuasaanNya dari sakit yang aku derita ini), kemudian angkat kedua tanganmu lalu ulangi lagi seperti itu (menempelkannya pada bagian yang sakit) sebanyak bilangan ganjil karena sesungguhnya Anas bin Maalik telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadanya seperti itu.”
[Jaami’ At-Tirmidziy no. 3588] – At-Tirmidziy berkata, “Hasan gharib.” Dan dishahihkan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Tirmidziy dan Ash-Shahiihah no. 1258.
Hadits ini mempunyai syaahid dari ‘Utsmaan bin Abul ‘Aash radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan Al-Imam Ibnu Maajah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ أَنَّهُ قَالَ قَدِمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِي وَجَعٌ قَدْ كَادَ يُبْطِلُنِي فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلْ يَدَكَ الْيُمْنَى عَلَيْهِ وَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَقُلْتُ ذَلِكَ فَشَفَانِيَ اللَّهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abu Bukair, telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Khushaifah, dari ‘Amr bin ‘Abdillaah bin Ka’b, dari Naafi’ bin Jubair, dari ‘Utsmaan bin Abul ‘Aash Ats-Tsaqafiy, bahwa ia berkata, “Aku mendatangi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan aku sedang menderita penyakit yang sangat mengganggu, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Letakkan tanganmu yang kanan diatasnya (yaitu diatas bagian tubuh yang sakit) lalu ucapkan, bismillahi a’uudza bi’izzatillaahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru, sebanyak tujuh kali.” Maka aku mengucapkan seperti itu dan Allah pun menyembuhkanku.”
[Sunan Ibnu Maajah no. 3522] – Shahih, para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiihain kecuali ‘Amr bin ‘Abdillaah, Al-Haafizh berkata ia tsiqah.
Dan disunnahkan pula meruqyah keluarganya, juga orang lain yang membutuhkan sebagaimana malaikat Jibriil ‘Alaihissalaam pernah meruqyah Rasulullah.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ الدَّرَاوَرْدِيُّ عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ إِذَا اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَاهُ جِبْرِيلُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ يُبْرِيكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيكَ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ وَشَرِّ كُلِّ ذِي عَيْنٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu ‘Umar Al-Makkiy, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz Ad-Daraawardiy, dari Yaziid -dan dia adalah Ibnu ‘Abdillaah bin Usaamah bin Al-Haad-, dari Muhammad bin Ibraahiim, dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam -radhiyallahu ‘anha-, bahwa ia berkata, “Dahulu jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang sakit maka Jibriil datang meruqyah beliau, Jibriil mengucapkan, bismillaahi yubriika wa min kulli daa’in yasyfiika wa min syarri haasidin idzaa hasada wa syarri kulli dzii ‘ainin (Dengan nama Allah yang menciptakanmu, Dialah Allah yang menyembuhkanmu dari segala macam penyakit dan dari kejahatan pendengki ketika ia mendengki serta segala macam kejahatan sorotan mata jahat semua makhluk yang memandang dengan kedengkian).”
[Shahiih Muslim no. 2188; Musnad Ahmad no. 24743]
15. Berdoa Saat Memakai Pakaian Baru
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ، أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ إِمَّا قَمِيصًا أَوْ عِمَامَةً ثُمَّ يَقُولُ: ” اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin ‘Aun, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnul Mubaarak, dari Al-Jurairiy, dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memakai baju baru, beliau memulai dengan menyebutkan nama baju tersebut, baik itu baju kemeja atau imamah, kemudian beliau membaca, Allaahumma lakal hamdu anta kasautaniihi as’aluka min khairihi wa khairi maa shuni’a lahu wa a’uudzubika min syarrihi wa syarri maa shuni’a lahu (Ya Allah, hanya bagiMu segala puji, Engkaulah yang memberikan pakaian ini kepadaku, aku memohon kepadaMu untuk memperoleh kebaikannya dan kebaikan yang terbuat karenanya, aku berlindung kepadaMu dari kejahatannya dan kejahatan yang terbuat karenanya).”
[Sunan Abu Daawud no. 4020; Jaami’ At-Tirmidziy no. 1767] – Al-Haafizh dalam Nataa’ijul Ifkaar 1/124 menghasankan sanadnya.
16. Mengucapkan Salam Kepada Semua Orang Islam Termasuk Anak Kecil
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Khaalid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Yaziid, dari Abul Khair, dari ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Islam yang seperti apakah yang paling baik?” Nabi bersabda, “Kau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan kepada yang tidak kau kenal.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 12; Shahiih Muslim no. 42]
17. Berwudhu Sebelum Mandi Besar (Mandi Junub)
Disunnahkan untuk berwudhu’ sebelum mengguyurkan air ke seluruh badan ketika mandi junub, dan ini masuk dalam sunnah-sunnahnya mandi junub.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ قَالَتْ سَتَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَغْتَسِلُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ صَبَّ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ ثُمَّ مَسَحَ بِيَدِهِ عَلَى الْحَائِطِ أَوْ الْأَرْضِ ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ الْمَاءَ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Saalim bin Abul Ja’d, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Maimuunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku menutupi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang mandi junub, maka ia mencuci kedua tangannya kemudian menuangkan dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, beliau mencuci kemaluan dan sekitarnya, kemudian menggosok kedua tangannya pada dinding atau permukaan tanah, kemudian beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat selain kakinya, lalu beliau mengguyurkan air pada seluruh badannya, beliau mengakhirinya dengan mencuci kakinya (untuk menyempurnakan wudhu’nya).”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 281]
18. Membaca ‘Amin’ Dengan Suara Keras Saat Menjadi Makmum
Disyari’atkan bagi makmum untuk mengucapkan “amin” karena jika ucapannya tersebut berbarengan dengan amin-nya malaikat, dosa-dosanya akan diampuni Allah, berdasarkan dalil berikut :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَاهُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَمَّنَ الْقَارِئُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillaah, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, ia berkata, Az-Zuhriy telah menceritakannya kepada kami, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Jika imam mengucapkan aamiin, maka kalian ucapkan aamiin karena sesungguhnya para malaikat juga mengucapkannya, maka barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan para malaikat maka dosa-dosanya yang telah lampau akan diampuni.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6402; Shahiih Muslim no. 411]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الْقَارِئُ { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } فَقَالَ مَنْ خَلْفَهُ آمِينَ فَوَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ أَهْلِ السَّمَاءِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, telah menceritakan kepada kami Ya’quub -yakni Ibnu ‘Abdirrahman-, dari Suhail, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika imam membaca “ghairil maghduubi ‘alaihim wa ladhdhaalliin”, lalu ma’mum di belakangnya mengucapkan aamiin dan ucapannya tersebut bersamaan dengan ucapan penduduk langit, dosanya yang telah lampau akan diampuni.”
[Shahiih Muslim no. 413]
Dan mengucapkan aamiin dengan suara keras, inilah pendapat mayoritas ulama, pensyarah Sunan Abu Daawud berkata :
وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى مَشْرُوعِيَّة التَّأْمِين لِلْمَأْمُومِ وَالْجَهْرِيَّة وَقَدْ تَرْجَمَ الْإِمَام الْبُخَارِيّ بَاب جَهْر الْمَأْمُوم بِالتَّأْمِينِ وَأَوْرَدَ فِيهِ هَذَا الْحَدِيث
“Hadits ini menunjukkan masyru’nya mengucapkan aamiin bagi ma’mum dan mengucapkan dengan jahr, dan sungguh Al-Imam Al-Bukhaariy telah membuat bab “ma’mum mengucapkan aamiin dengan suara keras”, lalu beliau mengeluarkan hadits ini.” [‘Aunul Ma’buud no. 782]
19. Mengeraskan Suara Saat Membaca Dzikir Setelah Shalat
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillaah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, telah menceritakan kepada kami ‘Amr, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku dahulu mengetahui selesainya shalat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan suara takbir mereka (yaitu suara dzikir).”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 842]
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashr, ia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amr, bahwa Abu Ma’bad maulaa Ibnu ‘Abbaas telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma telah mengkhabarkan kepadanya, bahwasanya mengeraskan suara dzikir ketika manusia selesai menunaikan shalat fardhu terjadi di zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ibnu ‘Abbaas berkata, “Aku dahulu mengetahui mereka telah selesai shalat jika aku mendengar suara dzikir mereka.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 841; Shahiih Muslim no. 586]
Al-Haafizh rahimahullah berkata bahwa hadits diatas adalah dalil dibolehkannya berdzikir dengan suara keras setelah selesai shalat [Fathul Baariy 2/324-326][1]
20. Membuat Pembatas Saat Sedang Shalat Fardhu Atau Shalat Sunnah
Pembatas ini dinamakan sutrah. Sutrah adalah sesuatu yang dianjurkan bahkan beberapa ulama menilainya wajib.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ، عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-‘Alaa’, telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid, dari Ibnu ‘Ajlaan, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Abdurrahman bin Abu Sa’iid Al-Khudriy, dari Ayahnya, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah kepadanya.”
[Sunan Abu Daawud no. 697] – Hasan. Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiihain.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Ar-Rabii’ bin Sabrah, dari Ayahnya, dari Kakeknya radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sutrah seorang laki-laki dalam shalatnya adalah anak panah, jika salah seorang dari kalian shalat maka batasilah dengan anak panah.”
[Musnad Ahmad no. 14801] – Abul Hasan Al-Haitsamiy dalam Majma’ Az-Zawaa’id 2/61 berkata bahwa para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih.
ثنا بُنْدَارٌ، ثنا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي الْحَنَفِيَّ، ثنا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنِي صَدَقَةُ بْنُ يَسَارٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” لا تُصَلِّ إِلا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
Telah menceritakan kepada kami Bundaar, telah menceritakan kepada kami Abu Bakr -yakni Al-Hanafiy-, telah menceritakan kepada kami Adh-Dhahhaak bin ‘Utsmaan, telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Yasaar, ia berkata, aku mendengar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian shalat kecuali menghadap sutrah dan jangan biarkan seorangpun melintas di hadapanmu, jika ia melawan maka perangilah ia karena ia bersama dengan qarin (yaitu syaithan).”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 775; Shahiih Ibnu Hibbaan no. 2362] – Shahih. Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya dan butuh pembahasan yang sangat panjang sementara tidak disini tempatnya. Yang telah jelas disepakati adalah bahwa sutrah adalah sesuatu yang disyari’atkan ketika hendak shalat terutama ketika kita shalat munfarid, shalat sunnah atau ketika kita menjadi imam dalam shalat berjama’ah. Namun jika kita menjadi ma’mum maka sutrah kita adalah sutrah yang digunakan oleh imam.
Demikian yang bisa kami tuliskan mengenai sunnah-sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan sehari-hari, sungguh merupakan suatu keutamaan jika kita bisa menghidupkannya dalam kehidupan kita disaat manusia banyak melupakannya. Wa billaahit taufiiq. Wallaahu a’lam.
Dikutip dari berbagai sumber.
Footnotes :
[1] Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa teknis berdzikir setelah shalat terbagi menjadi dua, yaitu dengan mengeraskan suara, dalilnya seperti disebutkan diatas. Lalu dengan melirihkan suara. Dalil untuk ini adalah firman Allah Ta’ala :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [QS Al-A’raaf : 205]
Lalu sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata :
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
“Kami pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ketika kami menaiki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, lembutkanlah diri kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah menyeru kepada Dzat yang tuli dan ghaib, sesungguhnya Dia bersama kalian dan Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha Suci namaNya dan Maha Tinggi kebesaranNya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2992]
Oleh karena itulah maka dibolehkan berdzikir setelah shalat dengan mengeraskan suara. Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata :
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
“Dan mengeraskan suara dengan takbir setelah tiap shalat adalah (amal yang) baik.” [Al-Muhallaa 4/260]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz ditanya mengenai dzikir dengan mengeraskan suara setelah shalat, maka jawab beliau :
نعم ، هذا هو السنة رفع الصوت بالذكر ، أما من قال إنه بدعة فهو غلطان ، السنة أن يرفع الصوت بالذكر كما كان النبي يفعل وأصحابه ، يقول ابن عباس رضي الله عنهما : كان رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، قال ابن عباس : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته فالسنة للإمام والمأمومين إذا سلموا من الصلاة رفع الصوت رفعا متوسطا لا صراخ فيه حتى يتعلم الجاهل ويتذكر الناسي ، أما ما يفعل بعض الناس يهلل بينه وبين نفسه فلا ، هذا خلاف السنة ، السنة أن يرفع الصوت بالذكر حتى يتتابع الناس بأفعال السنة
“Ya, berdzikir dengan mengeraskan suara adalah sunnah, adapun yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bid’ah, maka ia salah. Termasuk sunnah adalah mengeraskan suara ketika berdzikir sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mengeraskan suara dzikir ketika manusia selesai menunaikan shalat fardhu terjadi di zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam,” Ibnu ‘Abbaas berkata, “Aku dahulu mengetahui mereka (para sahabat) telah selesai shalat jika aku mendengar suara dzikir mereka.” Maka sunnah untuk imam dan ma’mum jika mereka telah salam dari shalat, mereka mengeraskan suara dzikir mereka dengan suara yang sedang dan tidak dengan berteriak hingga orang yang tidak mengetahui mempelajari hal ini dan mengingatkan manusia. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian manusia dengan bertahlil di dalam hati maka ini tidak benar, menyalahi sunnah. Yang sunnah adalah berdzikir dengan mengeraskan suara hingga manusia menjadi pengikut sunnah.” [Fatawaa Nuur ‘alaa Ad-Darb 9/87]
Adapun setelah dipahami bahwasanya dzikir dengan mengeraskan suara itu memang sah, maka para ulama pun memaknai bahwasanya dzikir dengan suara keras itu tidaklah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus, atau dengan kata lain Nabi melakukannya sesekali saja dengan maksud untuk memberi pengajaran kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum, terbukti dengan lafazh yang dipakai oleh Ibnu ‘Abbaas yaitu “kuntu” (aku dahulu) yang menunjukkan perbuatan ini memang pernah terjadi namun tidaklah dirutinkan. Al-Imam An-Nawawiy berkata :
وحمل الشافعي رحمه الله هذا الحديث على أنه جهر وقتاً يسيراً حتى يعلمهم صفة الذكر، لا أنهم جهروا دائماً. قال: فأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله تعالى بعد الفراغ من الصلاة ويخفيان ذلك، إلا أن يكون إماماً يريد أن يتعلم منه فيجهر حتى يعلم أنه قد تعلم منه، ثم يُسِرُّ، وحمل الحديث على هذا
“Dan Asy-Syaafi’iy rahimahullah membawa hadits ini kepada pengertian bahwasanya ia dikerjakan jahr sesekali dan sirr sesekali hingga beliau mengajarkan kepada mereka (yaitu para sahabat) sifat dzikir, tidaklah mereka melakukannya secara jahr terus menerus. Asy-Syaafi’iy berkata, “Aku memilih untuk imam dan ma’mum bahwa mereka berdzikir kepada Allah Ta’ala setelah menunaikan shalat dengan dipelankan, kecuali imam menginginkan untuk mengajarkan mereka maka ia menjahrkannya hingga mereka mengetahuinya, kemudian imam kembali merendahkan suaranya.” Beliau membawa hadits kepada pengertian seperti ini.” [Syarh Shahiih Muslim, via islamweb]
Dan yang juga dapat dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbaas tersebut adalah ia bukanlah dalil untuk berdzikir dengan dikomandoi satu suara secara berjama’ah, atau lazim kita kenal dengan dzikir berjama’ah. Namun yang dimaksud dan dimaknai oleh hadits adalah berdzikir dengan suara keras dan dilakukan dengan sendiri-sendiri. Wallaahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)