Ngahmeen
Rabu, 29 April 2015
KERAJAAN DHARMASRAYA SEBAGAI KERAJAAN MELAYU
Dharmasraya merupakan nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera, nama ini muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Coladewa raja Chola dari Koromandel pada tahun 1025 M.
1. Awal Mula
Munculnya Wangsa Mauli
Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman Arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri Bhumi Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
2. Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch’ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.
3. San-fo-tsi
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.
Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang).
Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.
Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.
4. Ekspedisi Pamalayu
Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang, kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibukota bhumi malayu sebagai hadiah dari kerajaan Singhasari dan tim ini kembali ke pulau Jawa pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yakni bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahkan oleh Raja Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahkan dengan sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuhan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman dan kelak menjadi raja Pagaruyung.
5. Penaklukan Majapahit
Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Negeri Melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit.[6] Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah “wilayah” kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.
6. Dari Dharmasraya ke Malayapura
Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 Masehi atau 1267 tahun Saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura dan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya (sekarang Jambi) ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Bangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnabhumi.
Walaupun ibukota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, di Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman.
7. Daftar Raja Dharmasraya
Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:
1) 1183 – Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand).
2) 1286 – Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntu).
3) 1300 – Akarendrawarman (Prasasti Suruaso di (Kab. Tanah Datar sekarang)).
4) 1347 – Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa (Manuskrip pada Arca Amoghapasa bertarikh 1347 di Kab. Dharmasraya sekarang, Prasasti Suruaso dan Prasasti Kuburajo di Kab. Tanah Datar sekarang).
8. Situs peninggalan
Komplek candi Muaro Jambi
Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Melayu Dharmasraya. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Koordinat Selatan 01* 28’32” Timur 103* 40’04”. Candi tersebut diperkirakakn berasal dari abad ke-11 M. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di pulau Sumatera.
Penemuan dan pemugaran
Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1823 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno[rujukan?] pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-9-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar,[1] dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.
Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, Republik Rakyat Cina, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan “wajra” pada beberapa candi yang membentuk mandala.
Struktur kompleks percandian
Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada tanggul alam kuno Sungai Batanghari. Situs ini mempunyai luas 12 km persegi, panjang lebih dari 7 kilometer serta luas sebesar 260 hektar yang membentang searah dengan jalur sungai. Situs ini berisi 61 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.
Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Untuk sampai ke sana, bisa menempuh jalur darat atau pakai kapal cepat lewat sungai. Luas situs Candi Muaro Jambi sebesar 12 kilometer persegi. Candi Muaro Jambi memiliki 80-an candi, sembilan candi besar. Ada sembilan candi yang besar: Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, candi Gedong satu dan Gedong dua, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano. Candi Gedong Satu terhitung unik di kompleks candi Muaro Jambi. Luas halamannya sekitar 500an meter persegi, terdiri dari bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata. Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini ada yang disimpan di museum.
Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi tetapi juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam tempat penammpungan air serta gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang saat ini masih dimiliki oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang berupa bangunan, dalam kompleks tersebut juga ditemukan arca prajnyaparamita, dwarapala, gajahsimha, umpak batu, lumpang/lesung batu. Gong perunggu dengan tulisan Cina, mantra Buddhis yang ditulis pada kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga besar dari perunggu, mata uang Cina, manik-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda, fragmen pecahan arca batu, batu mulia serta fragmen besi dan perunggu. Selain candi pada kompleks tersebut juga ditemukan gundukan tanah (gunung kecil) yang juga buatan manusia. Oleh masyarakat setempat gunung kecil tersebut disebut sebagai Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.
***
Demikianlah sejarah singkat yang dapat kami berikan mengenai Malayu Dhamasraya. Semoga tetap bisa menambah wawasan dan bahan kajian kita bersama. Sehingga kita pun kian bangga menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.
JAMBI DALAM SEJARAH
Sejarah dan Asal Muasal Propinsi Jambi
Posted on November 25, 2010 Updated on September 28, 2013
Kali ini saya ingin mengajak Anda sekalian untuk menelaah lebih jauh tentang Propinsi Jambi. Sebuah wilayah yang sejak dulu telah menjadi pusat Melayu di pulau Sumatra. Tujuannya tiada lain hanya untuk kembali membangkitkan nilai nasionalisme dan kepercayaan diri bangsa ini, dengan mengenang dan mengambil nilai-nilai luhur yang pernah mereka wariskan.
1. Pendahuluan
Di Swarnadwipa (pulau emas) atau Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan dua kerajaan Hindu-Buddha pra-Islam. Sekitar abad ke 6 – awal 7 M, berdiri Kerajaan Melayu (Melayu Tua) yang terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal abad ke 7 M dan lagi pada abad ke 9 M, Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China (Wang Gungwu 1958; 74). Kerajaan ini bersaing dengan Sri Wijaya untuk menjadi pusat perdagangan.
Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu yang akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya. Muaro Jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Buddha sebagaimana catatan dari pendeta China I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671 M. Ia belajar di Sri Wijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 Masehi bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Buddha. Saat itulah ia menuulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bagian dari Sri Wijaya.
Setelah Sri Wijaya mulai pudar di abad ke 11 Masehi, ibu negeri dipindahkan ke Jambi (Wolters 1970: 2). Inilah Kerajaan Melayu (Melayu Muda) atau Dhamasraya yang berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket (Hirt & Rockhill 1964; 60-2). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singosari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singosari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung (pedalaman Minang atau Suruaso) dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347 M. Kemudian di abad ke 15, Islam mulai menyebar di Nusantara.
2. Kesultanan Jambi
“Tanah Pilih Pesako Betuah”. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat (India) berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disana. Beliau bernama lengkap Syeikh Ahmad Salim bin Syeikh Sultan Al-Ariffin Sayyid Ismail. Beliau masih keturunan dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Di tempat baru ini, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikurniakan empat orang anak, kesemuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana sepasang angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur (berdiam) di tempat tersebut selama dua hari dua malam.
Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua angsa naik ke darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan amanah mertuanya, maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut “Tanah Pilih”, dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.
3. Asal Nama “Jambi”
‘Jambi’ berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘Pinang’. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan yang baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
Namun dari penjelasan di atas, ada versi lain yang menyebutkan bahwa kata Jambi itu justru berasal dari bahasa Arab yang di tulis dalam tulisan Arab (huruf Hijaiyah) dengan makna sahabat akrab. Demikian info dari teman bloger saya yang bernama Ridcho:
“Berpedoman pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel bahwa Kerajaan Melayu Jambi dari abad ke 7 s.d. abad ke 13 merupakan bandar atau pelabuhan dagang yang ramai. Disini berlabuh kapal-kapal dari berbagai bangsa, seperti: Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa lainnya. Berkenaan dengan itu, sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum Kerajaan Melayu jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang puteri Melayu bernama Puteri Dewani berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir ke Arab, dan tidak kembali. Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.
Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab yang secara harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.”
Demikianlah pendapat yang kedua, dengan alasan jika memang dulunya Orang Kayo Hitam menyebut pinang dengan kata jambe seharusnya putri pinang masak itu namanya Putri Jambe Masak. Jadi menurut saya (pendapat teman bloger saya yang bernama M.Isa. Ansyori) kata jambi itu bukannlah diambil dari bahasa Jawa, mengingat hingga sekarang masyarakat Jambi dari dulu tetap menyebut pinang dengan istilah pinang, tidak pernah menyebutnya dengan kata jambe, kecuali orang Jawa yang sudah tinggal di Jambi yang menyebutnya dengan kata jambe.
4. Keris Siginjai
Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan ‘Keris Siginjai’. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun, keris Siginjai tidak hanya sekedar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.
Gambar 1. Foto: Keris Siginjai
Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada awal abad ke 20. Selain keris Siginjai, ada sebuah keris lagi yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903M Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).
5. Slogan Jambi: “Sepucuk Jambi, Sembilan Lurah”
Gambar 2. Foto: Logo Propinsi Jambi
Seloka ini tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala pemerintahan Orang Kayo Hitam, yaitu : VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam, Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing bernama : 1. Batang Asai 2. Batang Merangin 3. Batang Masurai 4. Batang Tabir 5. Batang Senamat 6. Batang Jujuhan 7. Batang Bungo 8. Batang Tebo dan 9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu Jambi.
6. Senarai (silsilah) Sultan Jambi (1790-1904)
1). 1790 – 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
2). 1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
3). 1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
4). 1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
5). 1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
6). 1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
7). 1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
8). 1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
9). 1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)
10). 1904 Dihancurkan Belanda
7. Provinsi Jambi
Wilayah propinsi Jambi hari ini pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah – mungkin agar sesuai seloka adat tadi-. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, Yaitu :
1). Muara Jambi – beribunegeri di Sengeti
2). Bungo – beribunegeri di Muaro Bungo
3). Tebo – beribunegeri di Muaro Tebo
4). Sarolangun – beribunegeri di Sarolangun Kota
5). Merangin/Bangko – beribunegeri di Kota Bangko
6). Batanghari – beribunegeri di Muara Bulian
7). Tanjung Jabung Barat – beribunegeri di Kuala Tungkal
8). Tanjung Jabung Timur – beribunegeri di Muara Sabak
9). Kerinci – beribunegeri di Sungai Penuh
Pada akhir abad ke 19, di daerah Jambi terdapat kerajaan atau Kesultanan Jambi. Pemerintahan kerajaan ini dipimpin oleh seorang Sultan dibantu oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota) yang mengepalai Rapat Dua Belas yang merupakan Badan Pemerintahan Kerajaan.
Wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah sebagaimana tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo” yang artinya: Pucuk yaitu ulu dataran tinggi, sembilan lurah yaitu sembilan negeri atau wilayah dan batangnya Alam Rajo yaitu daerah teras kerajaan yang terdiri dari dua belas suku atau daerah.
Secara geografis keseluruhan daerah Kerajaan Jambi dapat dibagi atas dua bagian besar yakni:
* Daerah Huluan Jambi: meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah Aliran Sungai jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran Tabir, daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
* Daerah Hilir Jambi : meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai Rantau Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan Batang Tembesi sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
* Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin yang diatur menurut Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan.
* Pemerintahan marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh dua orang juru tulis dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh Marga juga memimpin pengadilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan sebagai penuntut umum adalah mantri marga. Di bawah pemerintahan marga terdapat dusun atau kampung yang dikepalai oleh penghulu atau kepala dusun atau Kepala Kampung.
* Pada masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur pemerintahan di daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari 10 karesidenan yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau, Karesidenan Jambi, Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang, Karesidenan Bengkulu, Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka Belitung.
* Khusus Karesidenan Jambi yang beribu kota di Jambi dalam pemerintahannya dipimpin oleh seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen dengan mengkoordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung sampai masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.
* Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
* Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
Gambar 3. Foto: Suku Anak Dalam (Suku Kubu)
* Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak” diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut “liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
* Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat desa.
* Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung, dsb.
* Pakaian. Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
* Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang. Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Turun Mandi, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, Ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.
8. Filsafat Hidup Masyarakat Setempat:
1). Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
2). Lambang Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, berbentuk Bidang Dasar Segi Lima, menggambarkan lambang Jiwa dan semangat Pancasila.
3). Masjid, melambangkan Ketuhanan dan Keagamaan;
4) Keris, melambangkan kepahlawanan dan Kejuangan;
5). Gong, melambangkan jiwa musyawarah dan Demokrasi.
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya. Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
****
Demikianlah yang dapat disampaikan dalam tulisan singkat ini. Semoga tetap memberikan banyak manfaat bagi kita semua. Dengannya, semoga akan menjadi motivasi bagi setiap diri generasi muda untuk jauh lebih maju dari kejayaan mereka di masa lalu, dan kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh mereka.
Sedangkan harapan kedepannya adalah, bahwa setiap generasi muda Indonesia – khususnya orang-orang Melayu dan Jambi – semakin sadar dan tidak pernah melupakan sejarah tentang jati diri mereka. Sehingga menjadi kian membuka cakrawala berpikir dan terpacu untuk terus mengejar ketinggalan serta berusaha mengukir prestasi terbaik di seantero dunia.
Minggu, 12 April 2015
BIOGRAFI TUANKU SALIAH : rang kiramaik dari sungai sariak
.
Sejarah perjalanan sarak di minangkabau, semuanya berawal dari ranah piaman, yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin dari Tanah Ulakan, Pesisir pantai, terus menyebar sampai kepedalaman daerah minangkabau dan kenegara tetanggak. Disamping Syekh Burhanuddin, dalam catatan sejarah rang piaman banyak ulama-lama besar berpengaruh yang lahir dan merasul (berdakwah) di piaman, seperti Tuangku Nan Basaruang di Ulakan, Syekh M. Hatta di Nagari Kapalo Koto, Syekh Mato Aie di Nagari Pakandangan, Syekh Tuangku Tampe Talang di Kuranji Hilir, Tuangku Badinah di Nagari Sungai Garinggiang, Tuangku Johor di Limu Purut, Tuangku Lubuak Ipuah di Nan Sabaris, Syekh Harun Bin Abdulla Gani di Toboh Pariaman, dan Syekh Tuangku Saliah Kiramat dan banyak lagi ulama besar piaman lainnya yang tidak bisa digambarkan dalam tulisan ini.
Setiap ulama yang ada di piaman memiliki kisah-kisah yang menarik untuk diceritakan, semua ulama besar tersebut telah memberikan kontribusi dan mendudukan pondasi kuat tegagnya ajaran sarak (agama islam) di ranah piaman dan minangkabau, salah satunya contoh adalah Syekh Mato Aie di Pakandangan, semasa hidup Syekh Mato aie memiliki murit dan pengikut dimana-mana, ini dapat kita lihat dari ramainya orang berziyarah pada saat bulan ramadhan mau masuk, dilihat makam Syekh Mato Aie yang berda dipakandangan sangat ramai di kunjungi oleh para peziyarah tersebut, baik yang berasal dari Piaman sendri, mapun dari luar piaman sperti dari Aceh, Damasraya dan Batusangkar.
Disamping Syekh Mato Aie yang memiliki pengaruh yang besar, ada juga ulama piaman yang sangat karismatik dan memiliki kiramat (kemuliyaan) yaitu Syekh Tuangku Saliah Kiramat atau orang Sungai Sariak mengatakan “Ungku Saliah”, Tuangku Saliah yang nama sebenarnya “dawaik”, beliau dilahirkan di PS. Panjang tahun 1890, dan meninggal pada tahun 1974, adalah ulama piaman yang memiliki banyak murit dan pengikut, semasa hidupnya Ungku Saliah memiliki Surau di Ujung Gunung Sungai Sariak dan beliau dimakamkan sekarang di Korong Lareh Nan Panjang, Nagari Sungai Sariak, kita bisa lihat goboanya disana.
Perjalan dakwah Ungku Saliah atau yang disebut oleh orang tua-tua kampuang juga merassul beliau dilakukan di beberapa tempat di daerah piaman dan minangkabau ini, Ungku Saliah menurut cerita urang tuo-tuo dulu mengatakan bahwa Ungku Saliah merupakan seorang umat manusia mengajarkan Islam kepada semua masyarakat piaman, yang memiliki kelebihaan, sehingga dengan kelebihaan itu dijelaskan Ungku Saliah memiliki kiramat dan keistimewaan sebagai ulama, seperti Pertama, Do,a Ungku Saliah yang banyak dikabulkan oleh Allah. SWT. Sehingga pada waktu beliau masih hidup banyak masyarakat atau muritnya yang minta didoakan oleh Tuangku Saliah untuk mendapatkan pertolongan dari Allah. SWT, Kedua Ungku Saliah memiliki indera yang lebih dari kabanyakan orang, sehingga Ungku Saliah pernah meramalkan dan mempredisi kejadian-kejadian yang akan terjadi dalam waktu dekat dan kejadian-kejadian yang akan terjadi kedepan,
Ketiga Ungku Saliah mampu memberikan obat dan penawar kepada orang sakit, sehingga dalam ceritanya orang sakit tersebut bisa sembuh dan sehat kembali, Keempat beliau juga termasuk yang menentang dan melawan penjajagan Belanda, dalam riwayatnya Ungku Saliah pernah dipenjaraa dengan muritnya oleh Belanda. Kelima disaat beliau mengisi ceramah atau mengisi pengajian, Ungku Salih bisa hadir diwaktu bersamaan dibeberapa surau, dan banyak lagi kiramat yang dimiliki oleh Tuangku Saliah tersebut.
Kehidupan Tuangku Saliah dalam cerita orang-orang tua dulu memiliki keistimewaan yang sangat menonjol, dalam sejarahnya tidak banyak penulis atau sasrawan yang mengkaji dan menuliskan kisah-kisah beliau, dari gambaran penulis banyak cerita-cerita yang dipercayai pernah terjadi pada masa hidup beliau yang tidak ditulisakan, hanya cerita-cerita yang banya berkembang ditengah masyarakat Piaman seperti Tuangku Saliah semasa hidup beliau sering ke Koto Mambang, setiap jumaatnya, setiap kedatangan beliau disambut oleh masyarakat dengan penuh penghargaan, semua orang dengan ikhlas memberikan apa saja yang diminta dan diinginkan oleh Tuangku Saliah, banyak orang bersedekah dan Ungku Saliah pun banyak memberikan kepada masyarakat, cerita M. Yadi khibo, (prantau piaman) mengatakan bahwa diwaktu kecil yadi, Ungku Saliah pernah memberikan 3 (tiga) benda, berupa ganto padati, tangkelek, dan sagenggam bareh (beras), semua benda itu disimpan oleh orang tuan yadi untuk dijadikan obat dan penawar sakit.
Disamping itu ada juga kisah, pada masa itu, ada salah seorang pengikutnya bernama sabar, yang ditegur oleh Ungku saliah yang belum membayar nazar, dan biasanya Tuangku Saliah selalu mengingatnya karna dia tahu selalu, kalau muritnya sabar itu kilaf belum membayarnya. Ada juga kisah yang digambarkan pada saat Belanda menyerang Lubuk Alung dengan membom bardir Pasar Lubuk Alung, sebelum terjadi penyerangan Belanda, Tuangku Saliah sudah memperingatkan warga Pasar Lubuak Aluang agar berhati. dengan mengataka bahwa sebetar lagi akan ada hujan lebat, maka padi yang terjemur agar segera di bangkit atau diteduhkan, sedangkan pada waktu itu hari sangat panas terik, alhasil ternya yang dimaksut dari Ungku Saliah itu adalah akan ada serangan bom dan mortir dari penjajah Belanda.
Syekh Tuangku Saliah Kiramat memiliki pengikut yang banyak, malah sampai sekarang masyarakat Piaman masih memiliki kerpercayaan yang diujutkan dengan dipajangnya foto Ungku Saliah di beberapa tempat, malah dikeramaian. Seandainya kita melakukan perjalanan kesetiap daerah dan kota di Indonesia, lalu singgah di warung nasi Padang, maka banyak kita temukan adanya foto-foto Ungku Saliah yang dipajang didinding rumah makan padang tersbut, bisa kita lihat dipajang didekat kasir, dipintu keluar dan lainya. Maka bisa dipastikan bahwa orang yang memasang foto Ungku Saliah tersbut merupakan pengikut.
Dalam sejarah Ungku Saliah, hanya dilukiskan oleh orang piaman dalam bentuk cerita dari mulut-kemulut, sampai hari ini belum ada penelitian yang ilmiah yang menggali dan melakukan penelitian akademis dari sosok sebenarnya Tuangku Saliah tersbut, dalam kesimpulan tulisan ini, begitu heroiknya kisah beliau maka patutlah kiranya masyarakat Piaman dan masyarakat minangkabau melakukan pengkajian dan meneliti jejak dan sejara Syekh Tuangku Saliah Kiramat untuk dibukukan dan dimunculkan dalam cacatan sejarah seorang ulama yang berpengaruh diminagkabau.
Syeh Burhanuddin, Ulakan (1646 – 1704)
UlakanSyeh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropa lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syeh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syeh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syeh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syeh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syeh Abdurrauf al Singkli.
Syeh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syeh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syeh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syeh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minangkabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syeh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadits; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ).
Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan Syeh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama “perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak.
Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam (1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan ulama Syeh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan.
Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syeh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan.
Syeh Burhanuddin meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116H atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar besar-besaran. Menurut perhitungan Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada tahun 1116 H dalam usia 53 tahun.
Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang didapat bersama gurunya, Syeh Abdurrauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau.
Bahkan Syeh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Peninggalan Syeh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik, seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah Syeh Burhanuddin.
Surau Syeh Burhanuddin
Peninggalan utama Syeh Burhanuddin yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di Minangkabau. Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan.
Secara alamiah Nagari Ulakan berbatas:
a. Sebelah utara dengan Nagari Sunur dan Nagari Pauh Kambar
b. Sebelah selatan dengan Nagari Tapakis
c. Sebelah barat dengan Samudra Indonesia
d. Sebelah timur dengan Nagari Tapakis
Nagari Tapakis terdiri dari 19 jorong, yakni Padang Toboh, Maransi, Sungai Gimbar Ganting, Lubuk Kandang, Sikabu, Tiram, Kampung Ladang, Kampung Gelapung, Kampung Koto, Bungo Padang, Pasar Ulakan, Tengah Padang, Palak Gadang, Tanjung Medan, Binuang, Koto Panjang, Manggopoh Dalam, Manggopoh Ujung, dan Padang Pauh. Letak Jorong ini umumnya terletak sepanjang pantai atau pesisir, penduduknya sebagian besar terdiri dari nelayan. Di lingkungan seperti inilah peninggalan Syeh Burhanuddin berupa makam di Ulakan dan Surau di Tanjung Medan.
Setelah bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan dagang berpindah dari Aceh, pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa Timur, Goa dan Tello di Sulawesi, dan Ternate Tidore di Maluku. Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh, Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar yang beragama Islam.
Peninggalan Syeh Burhanuddin
Pada batu nisan Syeh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10 Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1646. Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun.
Di kiri kanan makam Syeh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalifah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru tirai itupun diganti.
Pengganti-pengganti Syeh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi khalifah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalifah ke-16, Tuanku Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para pengikutnya, khalifah-khalifah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm.
Lokasi bangunan ini dipagar dengan tembok lebih kurang 1 m. Luas areal yang terpagar adalah 8 x 7.5 m. Di luar pagar terdapat pula makam-makam yang banyak, yang dipagar dengan tembok tinggi 1,5 m dan luasnya 8,5 x 12,5 m. Di luar pagar ini baru terdapat halaman yang luas dikelilingi oleh kira-kira 200 buah surau dan di tengahnya terletak sebuah masjid. Surau-surau ini merupakan perwakilan dari daerah atau nagari di Sumatra Barat yang juga berfungsi sebagai tempat menginap para peziarah.
Makam Syeh Burhanuddin dan makam lainnya, sangatlah sederhana, ditandai oleh dua buah nisan dari batu andesit dengan pengerjaan sederhana tanpa variasi yang penting sebagai monumen sejarah. Surau Syeh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas.
Tanah lokasi surau Syeh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syeh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syeh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syeh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu:
1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang.
Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.
2) Atap surau Syeh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.
3) Arsitektur surau Syeh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak.
Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syeh Burhanuddin pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.
4) Bahan bangunan Syeh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu.
5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau Syeh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi.
Masa Kecil Syeh Burhanuddin
Rumah BagonjongTidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan Syeh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah Sipono / Pono (si Panuah /Samporono). Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Neneknya bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama Tantejo Gurhano. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi.
Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh.
Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus. Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syeh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah.
Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syeh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syeh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syeh Ahmad Kosasih dan Syeh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syeh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan, anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama.
Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya.
Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal.
Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah.
Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk. Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya.
Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya. Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh
Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya.
Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah.
Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di Minangkabau.
Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta penyerahan diri kepada Allah. Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syeh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah.
Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syeh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri kepada Syeh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman disampaikan dengan sopan. Dengan segala senang hati Syeh Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya.
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Syeh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel.
Syeh Abdurauf Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga sekarang. Banyak legenda mengenai Syeh Abduurauf yang terus hidup dan dikenal turun temurun. Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in Sumatera mengatakan, “Syeh Abdurauf Singkel, seorang cendekiawan muslim Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Tengku Dikuala” Nama tertancap dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada zamannya.
Sesudah mendapat pendidikan di kampung halamannya dan di ibu kota Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423, ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab, di antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa tempat lainnya. Syeh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang ulama Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh.
Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang datang ke tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat Syattariah yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syeh Burhanuddin di Ulakan seorang mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara intensif ke pedalaman Minangkabau.
Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syeh Abdurauf terus menerus memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan hukum berjudul, ”Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu sebuah kupasan mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah palsu.
Pendapat Syeh Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat dipatuhi rakyat Aceh dan buah pikirannya terus hidup sampai sekarang dan lebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi sehingga syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini. Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin Ar Raniri yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf berisi juga tentang mu’amalah.
Kupasannya mengenai pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya berjudul Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam bahasa Melayu telah diterbitkan di Istambul pada tahun 1882.
Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah selama 34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama tindakan kekerasan yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran Syattariah tentang Wihdatul wujud.
Bentuk dan sifat pertentangan antara Syeh Abdurrauf dan Ar Raniri dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud sedangkan aliran Syeh Abdurrauf adalah Wihdatusysyuhud.
Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam yang baru ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi, bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda adanya Tuhan. Pemahaman ini adalah pemahaman wujudiyah/wahdatul wujud yang telah di sempurnakan oleh Syeh Abdurrauf yang ditulis dalam kitabnya “Tanbih Al-Masyi”.
“maka pahamilah ketetapan ini dan janganlah mencampur adukan sesuatu, karena mencampuradukan persoalan itu termasuk kebiasaan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Katakan dan yakinkan bahwa hamba tetap hamba meskipun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi) Tuhan tetap Tuhan, meskipun Dia turun (tanazzul) dan hakekat itu tidak akan berubah, artinya hakekat hamba tidak akan berubah menjadi hakekat Tuhan. Demikian pula sebaliknya walau pada zaman azali sekalipun.”
Keterangan yang dijelaskan oleh Syeh Abdurrauf bahawa hamba tidak akan bisa menyatu pada Tuhan secara mutlak. Syeh Abdurrouf mengutip keterangan dari gurunya Ibrahim Al-Khurani :
“pada zaman azali tidak ada yang tampak selain Allah, segala sesuatu tersimpan pada pengetahuanNya. Dan tidak memiliki wujud yang berbeda dari Al-haq, ia tampak karenaNya dan ia wujud karena wujudNya.”
Ditegskan kembali oleh Syeh Abdurrauf:
“ketahuilah wahai murid bahwa kesatuan segala sesuatu itu tidak benar kecuali sekalian munculnya segala sesuatu tersebut dalam kenyataan (MASIH ADA PADA ZAMAN AZALI) oleh karenanya , kita tidak dapat mengatakan bahwa Al-Kull itu adalah Al-haq, kecuali dari segi tidak adanya perbedaan dalam keesaan seperti yang telah dikemukakan. Adapun hukum batin adalah hukum yang samar (‘adam) sedangkan hukum yang lahir adalah hukum yang tampak nyata (wujud) ketahuilah itu dan jangan keliru dalam hal ini, kamu memohon ampunan dan kesehatan kepada Allah dalam urusan agama, dunia dan ahkirat.”
Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 1114 H atau 1698 M, Syeh Abdurauf berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki Syeh Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syeh Kuala. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala atau Syeh Kuala. Ia mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara) Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia dikuburkan.
Syeh Abdurrauf berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syeh Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana dan mudah dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Syeh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan bermazhab Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin Ar Raniri. Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam masyarakat .
Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul wujud yaitu ”alam ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai bahagian dari pada ketuhanan yang besar“. Menurut ahli tasauf dari aliran ini, dunia adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta.
Wihdatusyuhud ialah paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang baharu ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda dari pada adanya Tuhan.
Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain:
1. Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa ini.
2. Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
3. Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini.
4. Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
5. Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu.
Kepada ulama dan mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam ajaan Islam selama 10 tahun. Lebih-lebih ketika Syeh Abdur Rauf al Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin sebagai mufti Aceh, Pono dapat belajar tentang kehidupan istana dalam hubungannya dengan kegiatan masyarakat Aceh.
Syeh Abdurrauf memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan antara murid dengan guru terlihat sangat intim. Di samping belajar, Pono membantu guru menggembalakan ternaknya. Membuat dan memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini. Murid-murid di rangkang Syeh Abdurrauf harus berusaha sendiri dan mempunyai ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup.
Pono diajak tinggal serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syeh Abdurrauf.
Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di antara pelajar di sana. Karena itulah Syeh Abdurrauf mencurahkan sekalian ilmu yang pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan juga ilmu taqwim (hisab).
Setelah melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan baik, Syeh Burhanuddin kembali ke Minangkabau.
Setelah cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa than tibalah masanya Syeh Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang. Terjadi percakapan antara Syeh Abdurrauf dengan Syeh Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut:
“Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati. Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.”
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syeh Burhanuddin.
“Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syeh Ahmad al Kusasi, Syeh Qadir al Jailani, Syeh Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu.
Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syeh Burhanuddin. Syeh Abdurrauf melepas Syeh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syeh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau. Telah terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemenakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau Angso.
Perahu Syeh Burhanuddin mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman untuk beristirahat dan meninjau keadaan di darat. Bersama dengan pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai Ulakan. Perahu Syeh Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syeh Burhanuddin berpendapat lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan tugas yang diembannya. Syeh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia berpesan kepada Syeh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang nelayan, Syeh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat kepada teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah kembali dari Aceh dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahu saya yang sengaja dikirim oleh Syekh Abdur Rauf. Setelah menerima surat tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa orang menjemput ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat tangan setelah sekian lama berpisah.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian dari Raja Ulakan. Ke sanalah Syeh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah tugas suci mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat.
Walaupun mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama Islam yang taat.
Syeh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama. Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syeh Abdurrauf.
Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syeh Burhanuddin agar anak-anak bermain di halaman surau. Syeh Burhanuddin ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai permainan Syeh Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan bacaan doa-doa lain.
Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji, akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat mengaji bagi anak-anak dan santri.
Kesepakatan Bukit Marapalam
Berita kegiatan Syeh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri.
Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh, Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syeh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.”
Berangkatlah Syeh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” tersebut minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau.
Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak”, sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama.
Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara bulat.
Syeh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau. Dalam pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syeh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syeh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama pada Syeh Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syeh Burhanuddin di Ulakan.
Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo. Antara Syeh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syeh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syeh Burhanuddin bersama gurunya, Syeh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syeh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syeh Burhanuddin telah menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau.
Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal sekarang. Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syeh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum meninggal dunia, Syeh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syeh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, “khalifah” kelak. Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalifah I. Idris Majo Lelo, teman akrab Syeh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam, sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Tharekat Ulakan
Ajaran yang dikembangkan Syeh Burhanuddin sebagai penganut mazhab Sjafii adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan atau “martabat yang tujuh”.
Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari “ada yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah.
Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan.
Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat.
Adapun ajaran tharikat Syattariyah mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
a. tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan bahasa Arab yang kuno dan kurang murni.
b. Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti dapat dilihat dengan mata adanya bulan.
Pengaruh tharikat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke makam Syeh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut, pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tharikat, pendekatan dan penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran manusia dalam ajaran tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan amalannya melalui makrifat (ilmu) dan hakikat (kebenaran sejati = Tuhan).
Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau khalifah. Tanpa guru, makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi guru di sini adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama dalam menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya menurut faham ini dalam doa nama guru perlu disebut. Menyebut nama guru ialah memudahkan doa diperkenankan.
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut penghormatan kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama dan guru tharikat dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga dianggap keramat.
Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu dihormat dan dikunjungi. Banyak di antara murid-murid Syeh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan.
Setelah Syeh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing.
Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan tali Tigo Sapilin.
Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan “kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri (1784 – 1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada masanya.
“…siapapun orang nya yang mendalami tentang ilmu hakikat tidak menjalankan atau meniggalkan syari’at bagaikan tubuh ada hati tiada akal…”
BIOGRAFI SYEKH MUDA WALY AL-KHALIDY
Pada kesempatan ini kita akan mengenal sosok ulama besar Aceh yang ilmunya menyebar ke se antoro Aceh, karena murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar Aceh, beliau adalah Abuya Muda wali al-khalidy.
Abuya Muda Waly Al khalidy dilahirkan diDesa Blang poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat oleh Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Biografi Abuya Muda Waly al Khalidy
Tak lama setelah Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Sheikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syekh Muhammad salim sangat menyayangi Sheikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Sheikh Muda Waly selalu digendong oeh ayahnya. Mungkin Sheikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Sheikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.
Nama Abuya Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Perjalanan pendidikan Abuya Muda Waly
Syekh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh, dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun belajar di pesantren Al-Khairiyah, beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama'ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar, Syekh Mahmud. Dipesantren Bustanul Huda barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir, dan Mahally dalam ilmu fiqh, Alfiyah dan Ibn 'Aqil dalam ilmu nahwu dan sharaf.
Gambar Abuya muda wali
Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya, Teungku Syekh Mahmud. Yaitu perbedaan perdapat antara beliau dengan gurunya tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat didalam masjid secara jahar. Dikemudian harinya Syeikh Muda waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah syekh Muda Waly, Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syekh Mahmud, minta do'anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syekh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali-kali beliau dan ayahnya meminta ma'af kepada Syekh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah, maka timbullah kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh)yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syekh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syeikh Mahmud mema'afkan kesalahan Syekh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengan gurunya tersebut pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.
Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syekh H.Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syekh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda. Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syekh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata "Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie". Sesampainya di Blang Pidie, Syekh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syekh Muda Waly "biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong".Pada kali yang ketiga ini Syekh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syeikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.
Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syeikh H.Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syekh H.Marhaban, menteri muda pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat syeikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun. Syekh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terkhir Wa huwa hasbi wa ni'mal wakil. Setelah selesai pengajian Syeikh Muda Waly merasa bahwa syarahan-syarahan yang diberikan oleh Syekh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki dan apabila beliau membacakan kitab tersebut maka beliau juga akan sanggup menjelaskan seperti syarahan yang dipaparkan oleh Syekh Hasan. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syekh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syekh Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syekh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syeikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Kuerng Kale. Syekh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syekh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syeikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al–Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam symtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitab kuning, Syekh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka ustaz tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapkan asrama tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syeikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.
Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syekh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syekh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syekh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal beliau dan beliau kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit. Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang payung kepada Syekh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi syekh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yang telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syekh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkan ke al Azhar. Berangkatlah Syekh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba-tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syekh Muda Waly selama di kapal, orang tersebut bersedia membantu Syekh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.
Abuya muda waly
Setelah sampai di Normal Islambeliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan:
Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalam ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti ulama-ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu agama yang diajarkan di normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
Di normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa inggris, bahasa belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.
Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan di lembaga tersebut, Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syeikh Muda Waly, kalau begini, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.
Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syekh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh,tetapi menetaplah dulu di Padang,barangkali ada manfaatnya. Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syekh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan. Sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu. Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, ayahku mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat islam Sumatra barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahu dan lain. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh. Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al –fitr dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda. Syekh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran, dan pendidikannyai, tentu saja berpendirian dalam semua masalah masalah itu seperti pendirian para ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua ulama Aceh khususnya dalam bidang syari’at dan fiqh islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-singkili [Syiahkuala], Syeikh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain.
syeikh abuya muda waly
Semuanya bermazhab Syafi'i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari`at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja. Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syeikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan alasannya, al Qur’an dan hadist, dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu, yaitu syeikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof.Drs.H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang. Murid daripada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertahankan 'aqidah ahli al-sunnah wa al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat, yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka. Syekh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syekh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syeikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syeikh prof.Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syekh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul. Kemudian Syeikh Muda waly juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syeikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syeikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syekh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab. Di Pesantren jaho itulah Syekh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid-muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syekh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syeikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syeikh Muda Waly. Dari situlah, Syekh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syeikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syekh Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi'ah yang akhirnya melahirkan Syekh H.Mawardi Waly. Akhirnya syekh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah.
Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta`lim Apabila datang hari-hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syekh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syekh Hasan Basri, menantu dari Syekh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syekh Muda Waly menunaikan ibadah haji ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syekh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al- Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab kitab hadis dari Syekh Ali Al Maliki. Selama di Makkah Syeikh Muda Waly seangkatan dengan Syeikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al mukarramah .
Abuya muda waly Pulang ke Aceh
Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur,tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji.
Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah. Lahan tempat mendirikan musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada.
Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra. Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin;di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga: Darul Muta`allimin Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari,guru tasauf Syekh muda Waly.
Keempat : Darus salikin ;dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin ;lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini .Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la ;lakasi ini merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan. Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin),hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat. Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan.Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak. Para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan
Murid-Murid Abuya Muda Waly
Al Marhum Tgk. H.Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun
Al Marhum Tgk.Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah) Samalanga, Bireun.
Al Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
Tgk. H.Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesabtren Al Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh Bireun.
Teungku H.Daud Zamzamy.Aceh Besar.
Al Marhum Tgk. Syekh Syihabuddin Syah(Abu Keumala)pimpinan pesantren Safinatussalamah , Medan.
Teungku Adnan Mahmud pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan
Al Marhum.Tgk Syekh Marhaban Krueng Kalee(putra Syekh Hasan Krueng kale) mantan menteri muda era Sukarno
Al Marhum Tgk.Muhammad Isa Peudada
Al Marhum Tgk.ja`far Shiddiq Kuta Cane
Al Marhum Tgk. Abu Bakar sabil, Meulaboh Aceh Barat
Al Marhum Tgk.Usman fauzi. Cot Iri, Aceh Besar.
Syekh.prof. Muhibbuddin waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
Al Marhum Syekh Jailani
Al Marhum Syekh Labai sati, Padang Panjang
Al Marhum Tgk. Qamaruddin, Teunom. Aceh Barat
Tgk.Syekh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara
Tgk.Syekh Ahmad Blang Nibong Aceh Utara
Tgk.Syekh Abbas Parembeu, Aceh Barat
Tgk.Syekh Muhahammad Daud, Gayo
Tgk.Syekh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie
Tgk.Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
Tuanku Idrus, Batu Basurek, Bangkinang
Al Marhum Tgk.Syekh Amin Umar, Panton labu
Syekh Nawawi Harahap, Tapanuli
Al Marhum Tgk Syekh Usman Basyah, Langsa
Tgk.Syekh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara
Tgk.Syekh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat Dan lain lain banyak lagi…..
Selain meninggalkan murid,beliau juga meninggalkan beberapa tulisan diantaranya:
Karya-karya Abuya Muda Waly
Al fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama
Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah
Risalah adab zikir ismuz Zat
Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq
Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syeikh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa`ad Mungka.
Beliau menyebutkan: “Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah waljamah, bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad al Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Paya kumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib. karena itu maka hamba yang faqir ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syekh Ahmad Khatib itu murid Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syekh As`ad Mungka murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Langganan:
Postingan (Atom)