Ngahmeen

Ngahmeen
Me and My Wife

Minggu, 12 April 2015

Syeh Burhanuddin, Ulakan (1646 – 1704)

UlakanSyeh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropa lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syeh Burhanuddin Ulakan. Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syeh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syeh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syeh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syeh Abdurrauf al Singkli. Syeh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syeh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syeh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syeh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minangkabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya. Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syeh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadits; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ). Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan Syeh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama “perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak. Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam (1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan ulama Syeh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan. Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syeh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan. Syeh Burhanuddin meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116H atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar besar-besaran. Menurut perhitungan Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada tahun 1116 H dalam usia 53 tahun. Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang didapat bersama gurunya, Syeh Abdurrauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau. Bahkan Syeh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Peninggalan Syeh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik, seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah Syeh Burhanuddin. Surau Syeh Burhanuddin Peninggalan utama Syeh Burhanuddin yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di Minangkabau. Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan. Secara alamiah Nagari Ulakan berbatas: a. Sebelah utara dengan Nagari Sunur dan Nagari Pauh Kambar b. Sebelah selatan dengan Nagari Tapakis c. Sebelah barat dengan Samudra Indonesia d. Sebelah timur dengan Nagari Tapakis Nagari Tapakis terdiri dari 19 jorong, yakni Padang Toboh, Maransi, Sungai Gimbar Ganting, Lubuk Kandang, Sikabu, Tiram, Kampung Ladang, Kampung Gelapung, Kampung Koto, Bungo Padang, Pasar Ulakan, Tengah Padang, Palak Gadang, Tanjung Medan, Binuang, Koto Panjang, Manggopoh Dalam, Manggopoh Ujung, dan Padang Pauh. Letak Jorong ini umumnya terletak sepanjang pantai atau pesisir, penduduknya sebagian besar terdiri dari nelayan. Di lingkungan seperti inilah peninggalan Syeh Burhanuddin berupa makam di Ulakan dan Surau di Tanjung Medan. Setelah bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan dagang berpindah dari Aceh, pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa Timur, Goa dan Tello di Sulawesi, dan Ternate Tidore di Maluku. Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh, Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar yang beragama Islam. Peninggalan Syeh Burhanuddin Pada batu nisan Syeh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10 Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1646. Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun. Di kiri kanan makam Syeh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalifah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru tirai itupun diganti. Pengganti-pengganti Syeh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi khalifah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalifah ke-16, Tuanku Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para pengikutnya, khalifah-khalifah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokasi bangunan ini dipagar dengan tembok lebih kurang 1 m. Luas areal yang terpagar adalah 8 x 7.5 m. Di luar pagar terdapat pula makam-makam yang banyak, yang dipagar dengan tembok tinggi 1,5 m dan luasnya 8,5 x 12,5 m. Di luar pagar ini baru terdapat halaman yang luas dikelilingi oleh kira-kira 200 buah surau dan di tengahnya terletak sebuah masjid. Surau-surau ini merupakan perwakilan dari daerah atau nagari di Sumatra Barat yang juga berfungsi sebagai tempat menginap para peziarah. Makam Syeh Burhanuddin dan makam lainnya, sangatlah sederhana, ditandai oleh dua buah nisan dari batu andesit dengan pengerjaan sederhana tanpa variasi yang penting sebagai monumen sejarah. Surau Syeh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas. Tanah lokasi surau Syeh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syeh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syeh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syeh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu: 1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang. Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai. 2) Atap surau Syeh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16. 3) Arsitektur surau Syeh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak. Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syeh Burhanuddin pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri. 4) Bahan bangunan Syeh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu. 5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau Syeh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi. Masa Kecil Syeh Burhanuddin Rumah BagonjongTidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan Syeh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah Sipono / Pono (si Panuah /Samporono). Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Neneknya bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama Tantejo Gurhano. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi. Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh. Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini. Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus. Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syeh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syeh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syeh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syeh Ahmad Kosasih dan Syeh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syeh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan, anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama. Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya. Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal. Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah. Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk. Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya. Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya. Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk. Memperdalam Ilmu ke Aceh Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya. Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah. Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di Minangkabau. Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta penyerahan diri kepada Allah. Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syeh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syeh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan. Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri kepada Syeh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman disampaikan dengan sopan. Dengan segala senang hati Syeh Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya. Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693) Syeh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel. Syeh Abdurauf Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga sekarang. Banyak legenda mengenai Syeh Abduurauf yang terus hidup dan dikenal turun temurun. Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in Sumatera mengatakan, “Syeh Abdurauf Singkel, seorang cendekiawan muslim Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Tengku Dikuala” Nama tertancap dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada zamannya. Sesudah mendapat pendidikan di kampung halamannya dan di ibu kota Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423, ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab, di antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa tempat lainnya. Syeh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang ulama Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh. Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang datang ke tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat Syattariah yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syeh Burhanuddin di Ulakan seorang mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara intensif ke pedalaman Minangkabau. Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syeh Abdurauf terus menerus memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan hukum berjudul, ”Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu sebuah kupasan mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah palsu. Pendapat Syeh Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat dipatuhi rakyat Aceh dan buah pikirannya terus hidup sampai sekarang dan lebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi sehingga syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini. Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin Ar Raniri yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf berisi juga tentang mu’amalah. Kupasannya mengenai pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya berjudul Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam bahasa Melayu telah diterbitkan di Istambul pada tahun 1882. Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah selama 34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama tindakan kekerasan yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran Syattariah tentang Wihdatul wujud. Bentuk dan sifat pertentangan antara Syeh Abdurrauf dan Ar Raniri dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud sedangkan aliran Syeh Abdurrauf adalah Wihdatusysyuhud. Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam yang baru ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi, bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda adanya Tuhan. Pemahaman ini adalah pemahaman wujudiyah/wahdatul wujud yang telah di sempurnakan oleh Syeh Abdurrauf yang ditulis dalam kitabnya “Tanbih Al-Masyi”. “maka pahamilah ketetapan ini dan janganlah mencampur adukan sesuatu, karena mencampuradukan persoalan itu termasuk kebiasaan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Katakan dan yakinkan bahwa hamba tetap hamba meskipun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi) Tuhan tetap Tuhan, meskipun Dia turun (tanazzul) dan hakekat itu tidak akan berubah, artinya hakekat hamba tidak akan berubah menjadi hakekat Tuhan. Demikian pula sebaliknya walau pada zaman azali sekalipun.” Keterangan yang dijelaskan oleh Syeh Abdurrauf bahawa hamba tidak akan bisa menyatu pada Tuhan secara mutlak. Syeh Abdurrouf mengutip keterangan dari gurunya Ibrahim Al-Khurani : “pada zaman azali tidak ada yang tampak selain Allah, segala sesuatu tersimpan pada pengetahuanNya. Dan tidak memiliki wujud yang berbeda dari Al-haq, ia tampak karenaNya dan ia wujud karena wujudNya.” Ditegskan kembali oleh Syeh Abdurrauf: “ketahuilah wahai murid bahwa kesatuan segala sesuatu itu tidak benar kecuali sekalian munculnya segala sesuatu tersebut dalam kenyataan (MASIH ADA PADA ZAMAN AZALI) oleh karenanya , kita tidak dapat mengatakan bahwa Al-Kull itu adalah Al-haq, kecuali dari segi tidak adanya perbedaan dalam keesaan seperti yang telah dikemukakan. Adapun hukum batin adalah hukum yang samar (‘adam) sedangkan hukum yang lahir adalah hukum yang tampak nyata (wujud) ketahuilah itu dan jangan keliru dalam hal ini, kamu memohon ampunan dan kesehatan kepada Allah dalam urusan agama, dunia dan ahkirat.” Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 1114 H atau 1698 M, Syeh Abdurauf berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki Syeh Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syeh Kuala. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala atau Syeh Kuala. Ia mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara) Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia dikuburkan. Syeh Abdurrauf berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syeh Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana dan mudah dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh. Syeh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan bermazhab Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin Ar Raniri. Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam masyarakat . Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul wujud yaitu ”alam ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai bahagian dari pada ketuhanan yang besar“. Menurut ahli tasauf dari aliran ini, dunia adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Wihdatusyuhud ialah paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang baharu ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda dari pada adanya Tuhan. Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain: 1. Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa ini. 2. Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii. 3. Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini. 4. Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi. 5. Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu. Kepada ulama dan mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam ajaan Islam selama 10 tahun. Lebih-lebih ketika Syeh Abdur Rauf al Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin sebagai mufti Aceh, Pono dapat belajar tentang kehidupan istana dalam hubungannya dengan kegiatan masyarakat Aceh. Syeh Abdurrauf memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan antara murid dengan guru terlihat sangat intim. Di samping belajar, Pono membantu guru menggembalakan ternaknya. Membuat dan memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini. Murid-murid di rangkang Syeh Abdurrauf harus berusaha sendiri dan mempunyai ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup. Pono diajak tinggal serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syeh Abdurrauf. Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di antara pelajar di sana. Karena itulah Syeh Abdurrauf mencurahkan sekalian ilmu yang pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan juga ilmu taqwim (hisab). Setelah melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan baik, Syeh Burhanuddin kembali ke Minangkabau. Setelah cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa than tibalah masanya Syeh Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang. Terjadi percakapan antara Syeh Abdurrauf dengan Syeh Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut: “Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati. Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.” “Syukur Alhamdulillah”, kata Syeh Burhanuddin. “Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syeh Ahmad al Kusasi, Syeh Qadir al Jailani, Syeh Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu. Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!” Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syeh Burhanuddin. Syeh Abdurrauf melepas Syeh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syeh Burhanuddin sampai di kampung halamannya. Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau. Telah terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemenakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau Angso. Perahu Syeh Burhanuddin mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman untuk beristirahat dan meninjau keadaan di darat. Bersama dengan pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai Ulakan. Perahu Syeh Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syeh Burhanuddin berpendapat lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik. Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan tugas yang diembannya. Syeh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia berpesan kepada Syeh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung. Melalui seorang nelayan, Syeh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat kepada teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah kembali dari Aceh dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahu saya yang sengaja dikirim oleh Syekh Abdur Rauf. Setelah menerima surat tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa orang menjemput ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat tangan setelah sekian lama berpisah. Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia dikuburkan dekat pinago biru ini. Menyebarkan Ajaran Islam Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian dari Raja Ulakan. Ke sanalah Syeh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah tugas suci mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat. Walaupun mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama Islam yang taat. Syeh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur. Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama. Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syeh Abdurrauf. Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan. Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syeh Burhanuddin agar anak-anak bermain di halaman surau. Syeh Burhanuddin ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai permainan Syeh Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan bacaan doa-doa lain. Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji, akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat mengaji bagi anak-anak dan santri. Kesepakatan Bukit Marapalam Berita kegiatan Syeh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri. Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh, Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting. Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syeh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.” Berangkatlah Syeh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” tersebut minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau. Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak”, sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama. Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara bulat. Syeh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau. Dalam pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syeh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung. Bagaimana usaha Syeh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama pada Syeh Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syeh Burhanuddin di Ulakan. Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662. Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo. Antara Syeh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau. Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syeh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syeh Burhanuddin bersama gurunya, Syeh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syeh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau. Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir. Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syeh Burhanuddin telah menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau. Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal sekarang. Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Syeh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum meninggal dunia, Syeh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan. Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syeh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, “khalifah” kelak. Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalifah I. Idris Majo Lelo, teman akrab Syeh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam, sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang. Tharekat Ulakan Ajaran yang dikembangkan Syeh Burhanuddin sebagai penganut mazhab Sjafii adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan atau “martabat yang tujuh”. Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari “ada yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah. Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan. Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat. Adapun ajaran tharikat Syattariyah mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain: a. tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan bahasa Arab yang kuno dan kurang murni. b. Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti dapat dilihat dengan mata adanya bulan. Pengaruh tharikat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke makam Syeh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut, pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tharikat, pendekatan dan penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran manusia dalam ajaran tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan amalannya melalui makrifat (ilmu) dan hakikat (kebenaran sejati = Tuhan). Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau khalifah. Tanpa guru, makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi guru di sini adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama dalam menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya menurut faham ini dalam doa nama guru perlu disebut. Menyebut nama guru ialah memudahkan doa diperkenankan. Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut penghormatan kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama dan guru tharikat dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga dianggap keramat. Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu dihormat dan dikunjungi. Banyak di antara murid-murid Syeh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan. Setelah Syeh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing. Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan tali Tigo Sapilin. Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan “kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri (1784 – 1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada masanya. “…siapapun orang nya yang mendalami tentang ilmu hakikat tidak menjalankan atau meniggalkan syari’at bagaikan tubuh ada hati tiada akal…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar